Selasa, 31 Mei 2011

Pengenalan Hukum

1. Pengertian Hukum

Apakah sebenarnya hukum itu??? Pada umumnya yang dimaksud hukum adalah segala peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam kehidupan bersama yang dapat dipaksakan dengan suatu sanksi dalam pelaksanaannya. Pandangan tiap-tiap orang ataupun tiap ahli hukum tentang pengertian hukum itu berbeda-beda.
Berikut ini definisi Hukum menurut para ahli :

a. Menurut Tullius Cicerco (Romawi) dalam “ De Legibus”: Hukum adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
b. Hugo Grotius (Hugo de Grot) dalam “ De Jure Belli Pacis” (Hukum Perang dan Damai), 1625: Hukum adalah aturan tentang tindakan moral yang mewajibkan apa yang benar.
c. J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropranoto, SH mengatakan bahwa : Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib.
d. Thomas Hobbes dalam “ Leviathan”, 1651 : Hukum adalah perintah-perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan memaksakan perintahnya kepada orang lain.
e. Rudolf von Jhering dalam “ Der Zweck Im Recht” 1877-1882 : Hukum adalah keseluruhan peraturan yang memaksa yang berlaku dalam suatu Negara.
f. Plato : Hukum merupakan peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
g. Aristoteles : Hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.
h. E. Utrecht : Hukum merupakan himpunan petunjuk hidup – perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah/penguasa itu.
i. R. Soeroso SH : Hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.
j. Abdulkadir Muhammad, SH : Hukum adalah segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.
k. Mochtar Kusumaatmadja dalam “Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (1976:15) : Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.

Dapat disimpulkan hukum adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh badan yang berwenang yang berisi perintah ataupun larangan untuk mengatur tingkah laku manusia guna mencapai keadilan, keseimbangan dan keselarasan dalam hidup. Dengan kata lain untuk mencegah terjadinya kekacauan dan lain sebagainya dalam hidup.
Sebagai contoh, dalam suatu negara pasti terdapat suatu peraturan-peraturan yang mengatur tentang hubungan orang atau warga negara dengan negara. Itu disebut hukum. Contoh lain dalam suatu masyarakat ataupun daerah terdapat suatu tata-cara dalam bertingkah laku dalam masyarakat atau daerah tersebut. Itu juga disebut hukum.

2. Macam-Macam Hukum

Menurut bentuk-nya, hukum itu dibagi menjadi :
1. Hukum Tertulis, adalah hukum yang dituliskan atau dicantumkan dalam perundang-undangan. Contoh : hukum pidana dituliskan pada KUHPidana, hukum perdata dicantumkan pada KUHPerdata.
2. Hukum Tidak Tertulis, adalah hukum yang tidak dituliskan atau tidak dicantumkan dalam perundang-undangan. Contoh : hukum adat tidak dituliskan atau tidak dicantumkan pada perundang-undangan tetapi dipatuhi oleh daerah tertentu.

Hukum tertulis sendiri masih dibagi menjadi dua, yakni hukum tertulis yang dikodifikasikan dan yang tidak dikodifikasikan. Dikodifikasikan artinya hukum tersebut dibukukan dalam lembaran negara dan diundangkan atau diumumkan. Indonesia menganut hukum tertulis yang dikodifikasi. Kelebihannya adalah adanya kepastian hukum dan penyederhanaan hukum serta kesatuan hukum. Kekurangannya adalah hukum tersebut bila dikonotasikan bergeraknya lambat atau tidak dapat mengikuti hal-hal yang terus bergerak maju.

Menurut sifat-nya, hukum itu dibagi menjadi :
1. Hukum yang mengatur, yakni hukum yang dapat diabaikan bila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri.
2. Hukum yang memaksa, yakni hukum yang dalam keadaan apapun memiliki paksaan yang tegas.
Menurut sumber-nya, hukum itu dibagi menjadi :
1. Hukum Undang-Undang, yakni hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
2. Hukum Kebiasaan (adat), yakni hukum yang ada di dalam peraturan-peraturan adat.
3. Hukum Jurisprudensi, yakni hukum yang terbentuk karena keputusan hakim di masa yang lampau dalam perkara yang sama.
4. Hukum Traktat, yakni hukum yang terbentuk karena adanya perjanjian antara negara yang terlibat di dalamnya.

Menurut tempat berlaku-nya, hukum itu dibagi menjadi :
1. Hukum Nasional adalah hukum yang berlaku dalam suatu Negara.
2. Hukum Internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara.
3. Hukum Asing adalah hukum yang berlaku di negara asing.

Menurut isi-nya, hukum itu dibagi menjadi :
1. Hukum Privat (Hukum Sipil), adalah hukum yang mengatur hubungan antara perseorangan dan orang yang lain. Dapat dikatakan hukum yang mengatur hubungan antara warganegara dengan warganegara. Contoh : Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Tetap dalam arti sempit hukum sipil disebut juga hukum perdata.
2. Hukum Negara (Hukum Publik) dibedakan menjadi hukum pidana, tata negara dan administrasi negara.
a. Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antara warganegara dengan Negara.
b. Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur hubungan antara warganegara dengan alat perlengkapan negara.
c. Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang mengatur hubungan antar alat perlengkapan negara, hubungan pemerintah pusat dengan daerah.

Menurut cara mempertahankan-nya, hukum itu dibagi menjadi :
1. Hukum Materiil, yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan. Contoh Hukum Pidana, Hukum Perdata. Yang dimaksudkan adalah Hukum Pidana Materiil dan Hukum Perdata Materiil.
2. Hukum Formil, yaitu hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil. Contoh Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata.
3. Sifat-Sifat Hukum
Demi terciptanya tata tertib dalam kehidupan bermasyarakat, maka haruslah peraturan-peraturan itu dipatuhi oleh tiap-tiap orang. Tetapi karena pada zaman dahulu pun sudah banyak yang tidak mau mematuhi hukum, maka hukum harus mempunyai suatu sifat yang memaksa.

Dengan demikian, hukum itu mempunyai sifat mengatur dan memaksa. Hukum itu mengatur tingkah laku manusia dalam bermasyarakat. Hukum itu juga dapat memaksa tiap-tiap orang untuk mematuhi tata tertib atau peraturan dalam kemasyarakatan. Sehingga bila terdapat orang yang melanggarnya dapat dikenakan sanksi yang tegas terhadap siapapun yang tidak menaatinya.

Tetapi mungkin banyak yang bertanya-tanya, mengapa masih banyak orang yang melanggar hukum tetapi tidak dikenakan sanksi. Saya akan sedikit memberikan penjelasan mengenai hukum yang berlaku di Indonesia saat ini.
Hukum di Indonesia terbentuk atau ada dengan mengadopsi sebagian besar hukum Belanda. Hukum Belanda sendiri mengadopsi dari hukum di negara Perancis. Hukum Perancis menjiplak Hukum yang berlaku di zaman Romawi terdahulu. Mungkin Anda bertanya-tanya mengapa demikian. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari faktor penjajahan oleh negara lain, yakni berlakulah azas konkordasi. Azas konkordasi adalah azas yang menyatakan bahwa ketentuan perundang-undangan negara penjajah berlaku pula di negara yang dijajahnya.

Tetapi bukankah kita telah lepas dari penjajahan Belanda, mengapa kita masih mengadopsi hukum Belanda. Hal inilah yang sebenarnya menjadi tugas para ahli hukum di Indonesia. Pendapat saya sementara ini adalah hukum di Indonesia yang mengadopsi hukum Belanda adalah sebagian besar dari hukum yang ada di Indonesia. Misalnya KUHPidana, KUHPerdata dan lain-lain. Dapat dikatakan tidaklah mudah untuk mengubah suatu sistem yang berlaku begitu lama dengan waktu yang singkat. Yang menjadi harapan adalah suatu saat nanti hukum yang berlaku di Indonesia seperti hukum pidana, perdata, dagang benar-benar dibuat oleh orang Indonesia sendiri.
Kembali ke pertanyaan, mengapa masih banyak para pelanggar hukum yang tidak dikenai sanksi. Kami berpendapat hal ini disebabkan oleh masih banyaknya oknum-oknum korup di balik para pelanggar hukum atau para pelaku kejahatan tersebut. Mereka sebenarnya merupakan ahli di bidang hukum yang memanfaatkan kelemahan-kelemahan hukum.

4. Subyek Hukum dan Obyek Hukum

Subyek Hukum
Dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia dan badan hukum.

1. Manusia (naturlife persoon)
Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain.

2. Badan Hukum (recht persoon)
Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dann kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.

Obyek Hukum

Obyek hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi hak dari subyek hukum. Atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek suatu perhubungan hukum. Obyek hukum dapat pula disebut sebagai benda. Merujuk pada KUHPerdata, benda adalah tiap-tiap barang atau tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.

Benda itu sendiri dibagi menjadi :
1. Berwujud/Konkrit
a. Benda bergerak
bergerak sendiri, contoh : hewan.
digerakkan, contoh : kendaraan.
b. Benda tak bergerak, contoh tanah, pohon-pohon dsb.
2. Tidak Berwujud/ Abstrak contoh gas, pulsa, dsb.

5. Sifat dan Bentuk Kaidah Hukum

Dilihat dari sifatnya, kaidah hukum dapat dibagi menjadi dua.
1. hukum yang imperatif,
maksudnya kaidah hukum itu bersifat a priori harus ditaati, bersifat mengikat dan memaksa. Contoh : apabila seorang guru Sekolah Dasar akan mengadakan pungutan, maka ia tidak boleh melanggar peraturan undang-undang yang mengatur tentang PNS, pendidikan, korupsi dan sebagainya. Bila ia terbukti melakukan pelanggaran hukum karena pungutan tersebut, maka ia dapat dilaporkan kepada pihak yang berwenang.
2. hukum yang fakultatif
maksudnya ialah hukum itu tidak secara a priori mengikat. Kaidah fakultatif bersifat sebagai pelengkap. Contoh : Setiap warga negara berhak untuk mengemukakan pendapat. Apabila seseorang berada di dalam forum, maka ia dapat mengeluarkan pendapatnya atau tidak sama sekali.

Sedangkan menurut bentuknya, kaidah hukum dapat dibedakan menjadi dua.
1. kaidah hukum yang tidak tertulis
kaidah hukum yang tidak tertulis biasanya tumbuh dalam masyarakat dan bergerak sesuai dengan perkembangan masyarakat.
2. kaidah hukum yang tertulis
kaidah hukum yang tertulis biasanya dituangkan dalam bentuk tulisan pada undang-undang dan sebagainya. Kelebihan kaidah hukum yang tertulis adalah adanya kepastian hukum, mudah diketahui dan penyederhanaan hukum serta kesatuan hukum.

6. Sumber-sumber hukum

Sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan terbentuknya peraturan peraturan. Peraturan tersebut biasanya bersifat memaksa. Sumber-sumber Hukum ada 2 jenis yaitu:
1. Sumber-sumber hukum materiil, yakni sumber-sumber hukum yang ditinjau dari berbagai perspektif.
2. Sumber-sumber hukum formiil, yakni UU, kebiasaan, jurisprudentie, traktat dan doktrin.

Undang-Undang ialah suatu peraturan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang dipelihara oleh penguasa negara. Contohnya UU, PP, Perpu dan sebagainya.
Kebiasaan ialah perbuatan yang sama yang dilakukan terus-menerus sehingga menjadi hal yang yang selayaknya dilakukan. Contohnya adat-adat di daerah yang dilakukan turun temurun telah menjadi hukum di daerah tersebut.
Keputusan Hakim (jurisprudensi) ialah Keputusan hakim pada masa lampau pada suatu perkara yang sama sehingga dijadikan keputusan para hakim pada masa-masa selanjutnya. Hakim sendiri dapat membuat keputusan sendiri, bila perkara itu tidak diatur sama sekali di dalam UU.

Traktat ialah perjanjian yang dilakukan oleh dua negara ataupun lebih. Perjanjian ini mengikat antara negara yang terlibat dalam traktat ini. Otomatis traktat ini juga mengikat warganegara-warganegara dari negara yang bersangkutan.
Pendapat Para Ahli Hukum (doktrin) Pendapat atau pandangan para ahli hukum yang mempunyai pengaruh juga dapat menimbulkan hukum. Dalam jurisprudensi, sering hakim menyebut pendapat para sarjana hukum. Pada hubungan internasional, pendapat para sarjana hukum sangatlah penting.

7. Tujuan Hukum

Sama halnya dengan pengertian hukum, banyak teori atau pendapat mengenai tujuan hukum. Berikut teori-teori dari para ahli :
1. Prof Subekti, SH : Hukum itu mengabdi pada tujuan negara yaitu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya dengan cara menyelenggarakan keadilan. Keadilan itu menuntut bahwa dalam keadaan yang sama tiap orang mendapat bagian yang sama pula.
2. Prof. Mr. Dr. LJ. van Apeldoorn : Tujuan hukum adalah mengatur hubungan antara sesama manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian antara sesama. Dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan seimbang.
3. Geny : Tujuan hukum semata-mata ialah untuk mencapai keadilan. Dan ia kepentingan daya guna dan kemanfaatan sebagai unsur dari keadilan.
Pada umumnya hukum ditujukan untuk mendapatkan keadilan, menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat serta mendapatkan kemanfaatan atas dibentuknya hukum tersebut. Selain itu, menjaga dan mencegah agar tiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri, namun tiap perkara harus diputuskan oleh hakim berdasarkan dengan ketentuan yang sedang berlaku.

Secara singkat Tujuan Hukum antara lain:
a. Keadilan
b. Kepastian
c. Kemanfaatan

Senin, 30 Mei 2011

Pemberian Kuasa (Surat Kuasa)


Apabila seseorang tidak dapat menjalankan suatu urusan, maka alternatifnya adalah menunda urusan tersebut sampai ia mampu melakukannya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain untuk melakukannya. Mewakilkan kepada orang lain untuk menjalankan suatu urusan itulah yang dalam bahasa sehari-hari dikenal dengan pemberian kuasa.
Terdapat beberapa pengertian tentang surat kuasa dan masalah-masalah yang perlu dibahas dalam surat kuasa yang ada hubungannya dengan kegiatan kita sehari-hari baik secara yuridis maupun dalam kenyataan dilapangan. Berikut ini penulis sengaja menyajikan pembahasan tentang pemberian kuasa (surat kuasa) dalam bentuk tanya jawab guna lebih mempermudah para pembaca untuk memahaminya:

1. Apa pengertian dari Pemberian Kuasa/Surat Kuasa...?
a Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka) pengertian dari:
SURAT adalah kertas dsb yang tertulis (berbagai-bagai isi maksudnya)
KUASA terdapat dua pengertian yaitu:
1) Kuasa adalah kewenangan atau kesanggupan (untuk berbuat sesuatu); kekuatan.
2) Kuasa adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintahkan, mewakili, mngurus, dlsb) sesuatu.
SURAT KUASA adalah surat yang berisi tentang pemberian kuasa kepada seseorang untuk mengurus sesuatu.
b Sesuai Kamus Hukum – Prof R. Soebekti, SH & Tjitrosoedibio):
KUASA adalah Wenang
PEMBERIAN KUASA (lastgeving, Bld) adalah pemberian kewenangan kepada orang lain untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas nama si pemberi kuasa.
c Sesuai Kamus Perbankan – Institus Bankir Indonesia:
KUASA (Authority, Ingg) adalah wewenang untuk melakukan sesuatu.
d Sesuai Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1792 memberikan pengertian tentang pemberian kuasa yaitu:
“Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seseorang lain yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.
e Kesimpulan penulis: pemberian kuasa pada intinya adalah seseorang (pemberi kuasa) melimpahkan kewenangannya kepada orang lain (penerima kuasa) untuk melakukan perbuatan-perbuatan (suatu urusan) yang mengatas-namakan pemberi kuasa.

Yang perlu dicermati dan digarisbawahi dalam pengertian diatas adalah definisi menurut KUH Perdata, dimana disitu terdapat kata-kata “menyelenggarakan suatu urusan” dan kata-kata “untuk atas namanya” ditinjau dari sisi yuridis kata-kata “menyelenggarakan suatu urusan” berarti bahwa disitu terdapat suatu perbuatan hukum yang akan mengakibatkan akibat hukum tertentu sedangkan kata-kata “untuk atas namanya” berarti adanya seserorang yang mewakilkan kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.

Sehingga dapat diartikan bahwa orang yang menerima kuasa dalam melakukan urusan tersebut adalah mewakili dan dalam hal ini berarti si penerima kuasa berbuat untuk dan atas nama si pemberi kuasa, serta akan menimbulkan hak dan kewajiban baik dari si pemberi kuasa maupun penerima kuasa tersebut.

2. Bagaimana bentuk dan isi dari Pemberian Kuasa...?
a Bentuk surat kuasa
Bentuk dari surat kuasa menurut pasal 1793 KUH Perdata adalah:
1) Bahwa kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan.
Akta umum adalah akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum yang diberikan wewenang oleh Undang-undang.
Tulisan dibawah tangan adalah akta yang dibuat hanya oleh para pihak saja (pemberi dan penerima kuasa)
2) Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa.
b Isi pemberian kuasa
Banyak sekali isi dari pemberian kuasa, namun sesuai dengan perundang-undangan dapat dibedakan menjadi sbb:
1) Pasal 1795 KUH Perdata menyebutkan bahwa isi pemberian kuasa sbb:
· Pemberian Kuasa secara Khusus yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih.
· Pemberian Kuasa secara Umum yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa.
2) Pasal 1797 KUH Perdata menyebutkan bahwa si Kuasa tidak diperbolehkan melakukan sesuatu apapun yang melampaui kuasanya: kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan suatu urusan dengan jalan perdamaian, sekali-kali tidak mengandung kekuasaan untuk menyerahkan perkaranya kepada putusan wasit.
Jadi apabila seseorang yang diberi kuasa melakukan perbuatan yang melebihi dari apa yang disebutkan di dalam surat kuasa tersebut, maka akibat dari perbuatan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari penerima kuasa. Dan si pemberi kuasa dapat meminta ganti rugi dari penerima kuasa atau bisa juga pemberi kuasa menyetujui apa yang telah dilakukan penerima kuasa walaupun melampaui kuasanya.

3. Apa saja kewajiban dari Pemberi maupun Penerima Kuasa....?
a Kewajiban Penerima kuasa
Penerima kuasa merupakan orang yang telah diberi wewenang oleh pemberi kuasa, sehingga ia mempunyai kewajiban-kewajiban antara lain:
· Melaksanakan tugas yang diberikan dengan sempurna.
· Mempertanggungjawabkan kerugian-kerugian yang mungkin timbul akibat dilaksanakannya kuasa tersebut.
· Memberikan laporan tentang apa yang diperbuatnya dan memberikan perhitungan kepada Pemberi Kuasa tentang segala hal yang diterimanya dalam melaksanakan tugas yang diberikannya.
b Kewajiban Pemberi kuasa
Tidak hanya seorang Penerima Kuasa saja yang mempunyai kewajiban, namun Pemberi Kuasa juga mempunyai kewajiban-kewajiban yaitu:
· Pemberi kuasa wajib memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh Penerima Kuasa, sebatas kewenangan yang telah diberikan kepada Penerima Kuasa.
· Pemberi kuasa wajib mengembalikan perskot-perskot dan biaya-biaya (bila ada) yang telah dikeluarkan oleh Penerima Kuasa. Hal ini tetap menjadi tanggung jawab Pemberi Kuasa walaupun urusannya tidak berhasil dilaksanakan asalkan Penerima Kuasa telah mengerjakan tugasnya dengan baik dan bertindak dalam batas wewenang yang telah disebutkan di dalam surat kuasa.

4. Apa yang dimaksud dengan Kuasa Substitusi....?
a Pengertian Kuasa Substitusi
Yang dimaksud dengan Kuasa Substitusi adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Atau dengan kata lain bahwa Kuasa Substitusi adalah Kuasa yang dapat dikuasakan kembali kepada orang lain. Misalnya Pemimpin Cabang BRI mendapat Kuasa dari Direksi untuk menandatangani SKMHT kemudian Pinca tersebut memberikan kuasa kembali kepada Kaunit untuk menandatangani SKMHT yang dibuat untuk masing-masing nasabah yang ada di BRI Unit masing-masing.
b Tanggung jawab Penerima Kuasa substitusi
Pasal 1803 KUH Perdata menegaskan bahwa “Si Kuasa bertanggungjawab untuk orang yang telah ditunjuk olehnya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya:
· Jika ia tidak diberikan kekuasaan untuk menunjuk seorang lain sebagai penggantinya
· Jika kekuasaan itu telah diberikan kepadanya tanpa penyebutan seorang tertentu, sedangkan orang yang dipilihnya itu ternyata seorang yang tak-cakap atau tak mampu.
Jadi jelas bahwa pasal tersebut menghendaki apabila pengangkatan kuasa substitusi tidak diperbolehkan atau tidak mendapat persetujuan dari Pemberi Kuasa (pemberi kuasa pertama kali sebelum terbit kuasa substitusi) dan apabila pengangkatan kuasa substitusi telah mendapat wewenang dari Pemberi Kuasa tanpa menentukan siapa orangnya, ternyata orang tersebut tidak cakap atau tidak mampu maka hal tersebut menjadi tanggung jawab dari Pemberi Kuasa substitusi.

5. Surat Kuasa tidak bermeterai, bagaimana status hukumnya.....?
Surat kuasa adalah termasuk dalam perjanjian yang akan menimbulkan perikatan yaitu hak dan kewajiban antara dua pihak yaitu pihak pemberi kuasa di satu sisi dan pihak penerima kuasa dilain pihak. Surat Kuasa merupakan suatu perjanjian maka syarat syahnya bukan ditentukan ada atau tidak adanya meterai. Karena merupakan perjanjian maka untuk syarat syahnya sudah diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat syahnya suatu perjanjian, yaitu: Cakap, Sepakat, Hal tertentu dan Causa yang halal.
Pada dasarnya pembubuhan materai adalah hanya berfungsi sebagai suatu cara untuk mengenakan pajak yang harus dibayar kepada negara terhadap suatu surat-surat atau dokumen-dokumen yang dihasilkan atas perbuatan hukum tertentu dan dimaksudkan akan dijadikan sebagai alat bukti.

Sehingga surat kuasa yang tidak bermeterai, bukanlah berarti bahwa surat kuasa tersebut menjadi tidak sah. Surat Kuasa yang tidak bermeterai tersebut tetap dapat dijadikan sebagai alat bukti, hanya saja sesuai undang-undang tentang materai bahwa perjanjian termasuk juga surat kuasa termasuk dokumen yang wajib dikenakan bea meterai, maka terhadap surat kuasa yang tidak ada meterainya tersebut harus dilunasi terlebih dahulu bea meterainya dengan cara yang telah diatur dalam Undang-undang tentang meterai.

Cara untuk melunasi bea meterai atas surat kuasa yang tidak bermeterai adalah dibelikan meterai di Kantor Pos dan Giro, kemudian ditempelkan dalam lembar kertas surat kuasa tersebut, kemudian dimintakan cap pos atau istilah lainnya adalah Nazekling.

6. Dapatkah Surat Kuasa berakhir....?
Aturan mengenai berakhirnya Pemberian Kuasa adalah pasal 1813 KUH Perdata yang terdiri dari:
a Ditariknya kembali kuasanya dari penerima kuasa;
b Dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa;
c Dengan meninggalkannya, penghapusannya, atau pailitnya si pemberi kuasa maupun penerima kuasa;

Diluar pasal 1813 KUH Perdata, hal-hal yang dapat menyebabkan berakhirnya kuasa antara lain:
a Karena telah dilaksanakannya kuasa tersebut.
b Berakhirnya masa berlakunya Surat Kuasa.

7. Apakah surat kuasa dapat dicabut...?
Sesuai pasal 1813 KUH Perdata tersebut diatas, telah diatur mengenai berakhirnya surat kuasa. Namun dapat kami tambahkan disini khususnya tentang pencabutan secara sepihak oleh Pemberi Kuasa dapat terjadi apabila:
a Dilakukan secara tegas oleh Pemberi Kuasa;
b Dilakukan secara diam-diam yang dapat dilihat dari tindakan-tindakan Pemberi Kuasa, misalnya mengangkat kuasa.
Pemberi Kuasa dapat saja mencabut wewenang kuasa setiap saat dan menuntut pengembalian kuasa untuk menghindari penyalahgunaan Surat Kuasa yang telah dicabut tersebut.

8. Dapatkah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), dicabut atau berakhir karena pemilik jaminan meninggal dunia?
Terhadap Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) merupakan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali karena sebab apapun. Dengan demikian SKMHT tidak dapat berakhir karena alasan yang dimaksud dalam pasal 1813 KUH Perdata. Walaupun nasabah meninggal atau mencabut/menarik SKMHT yang telah diberikannya kepada kreditor, SKMHT tetap berlaku atau dengan meninggalnya nasabah tidak menjadikan SKMHT tersebut tidak dapat dilaksanakan. Dengan kata lain bahwa SKMHT tidak dapat dicabut oleh pemberi kuasa dan tidak dapat berakhir karena pemberi kuasa meninggal.

Mengapa SKMHT tidak dapat berakhir karena hal-hal yang disebutkan dalam pasal 1813 KUH Perdata...? penyebabnya adalah ada dua hal yaitu:
1. Secara tegas telah disebutkan dalam pasal 15 ayat 2 Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 tahun 1996 yang bunyinya:
“Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
2. Di dalam SKMHT terdapat klausula yang berbunyi “
“Kuasa ini tidak dapat ditarik kembali dan tidak berakhir karena sebab apapun kecuali oleh karena telah dilaksnakan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya tanggal ....................dst”.

SKMHT hanya dapat berakhir karena sbb:
1. Telah dilaksanakannya kuasa tersebut yaitu telah dibuatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APH) oleh penerima kuasa.
2. Terlampauinya jangka waktu SKMHT, sesuai yang disebutkan di dalam pasal pasal 15 (3) dan (4) UU - Hak Tanggungan No. 4 tahun 1996 yaitu:
· 1 (satu) bulan untuk hak atas tanah yang sudah terdaftar seperti (Sertifikat Hak Milik, SHGB, SHGU dan Hak Pakai).
· 3 (tiga) bulan untuk hak atas tanah yang belum terdaftar (tanah yang berlum bersertifikat).
· Sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan yaitu khusus untuk jenis-jenis Kredit Usaha Kecil dengan plafond tidak melebihi Rp. 50 juta diantaranya Kupedes (PMNA No.4/1996)


Sumber :
http://kinliontheblog.blogspot.com/2010/05/membahas-tentang-pemberian-kuasa-surat.html

Perjanjian Ditinjau dari sudut Hukum Privat dan Hukum Publik


Hukum Privat

A. Pengertian Perjanjian

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian
perjanjian ini mengandung unsur :

a. Perbuatan,
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika
diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan
tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,
Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling
berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama
lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.

c. Mengikatkan dirinya,
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada
pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul
karena kehendaknya sendiri.

B. Syarat sahnya Perjanjian

Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang
yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam
persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan
dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW);
adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu
muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat”
berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2. cakap untuk membuat perikatan;
Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah
Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September
1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.
Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).
3. suatu hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka
perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang
yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan
Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi
obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4. suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat.
Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain
oleh undang-undang.
Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat
mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat
dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.

C. Akibat Perjanjian

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak
(perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi
kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang
membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian
tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga
untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang.
Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.

D. Berakhirnya Perjanjian

Perjanjian berakhir karena :
a. ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu;
b. undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian;
c. para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa
tertentu maka persetujuan akan hapus;
Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang
diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu
keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang
disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena
adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu :
• keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali
tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya
gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar (force majeur).
Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur) :
a. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
b. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi
hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi,
kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
• keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan
debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan
prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak
seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia
atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan
memaksa ini tidak mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu
pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan debitur.
d. pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh
kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat
sementara misalnya perjanjian kerja;
e. putusan hakim;
f. tujuan perjanjian telah tercapai;
g. dengan persetujuan para pihak (herroeping).

Hukum Publik

A. Pengertian Perjanjian

Dalam Hukum Publik, perjanjian disini menunjuk kepada Perjanjian Internasional.
Saat ini pada masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Perjanjian
Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama
untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya.
Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian Internasional hanya diatur
oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft-draft pasal-pasal yang disiapkan oleh Komisi
Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di Wina dari
tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April sampai dengan 22
Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian
melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan merupakan hukum internasional positif.

Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan perjanjian internasional (treaty)
adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya. Pengertian diatas mengandung unsur :
a. adanya subjek hukum internasional, yaitu negara, organisasi internasional dan
gerakan-gerakan pembebasan.
Pengakuan negara sebagai sebagai subjek hukum internasional yang mempunyai
kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional tercantum dalam
Pasal 6 Konvensi Wina. Organisasi internasional juga diakui sebagai pihak yang
membuat perjanjian dengan persyaratan kehendak membuat perjanjian berasal dari
negara-negara anggota dan perjanjian internasional yang dibuat merupakan bidang
kewenangan organisasi internasional tersebut. Pembatasan tersebut terlihat pada Pasal 6 Konvensi Wina. Kapasitas gerakan-gerakan pembebasan diakui namun bersifat
selektif dan terbatas. Selektif artinya gerakan-gerakan tersebut harus diakui terlebih dahulu oleh kawasan dimana gerakan tersebut berada. Terbatas artinya keikutsertaan gerakan dalam perjanjian adalah untuk melaksanakan keinginan gerakan mendirikan negaranya yang merdeka.
b. rezim hukum internasional.
Perjanjian internasional harus tunduk pada hukum internasional dan tidak boleh tunduk pada suatu hukum nasional tertentu. Walaupun perjanjian itu dibuat oleh negara atau organisasi internasional namun apabila telah tunduk pada suatu hukum nasional tertentu yang dipilih, perjanjian tersebut bukanlah perjanjian internasional.

B. Syarat sahnya perjanjian

Berbeda dengan perjanjian dalam hukum privat yang sah dan mengikat para pihak
sejak adanya kata sepakat, namun dalam hukum publik kata sepakat hanya
menunjukkan kesaksian naskah perjanjian, bukan keabsahan perjanjian. Dan setelah
perjanjian itu sah, tidak serta merta mengikat para pihak apabila para pihak belum
melakukan ratifikasi.
Tahapan pembuatan perjanjian meliputi :
a. perundingan dimana negara mengirimkan utusannya ke suatu konferensi bilateral
maupun multilateral;
b. penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text) adalah penerimaan isi naskah
perjanjian oleh peserta konferensi yang ditentukan dengan persetujuan dari semua
peserta melalui pemungutan suara;
c. kesaksian naskah perjanjian (authentication of the text), merupakan suatu tindakan formal yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah diterima konferensi.
Pasal 10 Konvensi Wina, dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah
perjanjian atau sesuai dengan yang telah diputuskan oleh utusan-utusan dalam
konferensi. Kalau tidak ditentukan maka pengesahan dapat dilakukan dengan
membubuhi tanda tangan atau paraf di bawah naskah perjanjian.
d. persetujuan mengikatkan diri (consent to the bound), diberikan dalam bermacam cara tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu mengadakan perjanjian,
dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah sebagai berikut :
a) penandatanganan,
Pasal 12 Konvensi Wina menyatakan :
- persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk
tandatangan wakil negara tersebut;
- bila perjanjian itu sendiri yang menyatakannya;
- bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding menyetujui demikian;
- bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau dinyatakan
dengan jelas pada waktu perundingan.
b) pengesahan, melalui ratifikasi dimana perjanjian tersebut disahkan oleh badan
yang berwenang di negara anggota.

C. Akibat perjanjian

1) Bagi negara pihak :
Pasal 26 Konvensi Wina menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku
mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good
faith. Pelaksanaan perjanjian itu dilakukan oleh organ-organ negara yang harus
mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaannya. Daya ikat
perjanjian didasarkan pada prinsip pacta sunt servanda.
2) Bagi negara lain :
Berbeda dengan perjanjian dalam lapangan hukum privat yang tidak boleh
menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga, perjanjian internasional dapat
menimbulkan akibat bagi pihak ketiga atas persetujuan mereka, dapat memberikan hak
kepada negara-negara ketiga atau mempunyai akibat pada negara ketiga tanpa
persetujuan negara tersebut (contoh : Pasal 2 (6) Piagam PBB yang menyatakan
bahwa negara-negara bukan anggota PBB harus bertindak sesuai dengan asas PBB
sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional).
Pasal 35 Konvensi Wina mengatur bahwa perjanjian internasional dapat
menimbulkan akibat bagi pihak ketiga berupa kewajiban atas persetujuan mereka
dimana persetujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk tertulis.

D. Berakhirnya perjanjian

(1) sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri;
(2) atas persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjian tersendiri;
(3) akibat peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya perjanjian,
perubahan kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota, timbulnya
norma hukum internasional yang baru, perang.

II. Kesimpulan
Perjanjian, baik ditinjau dari sudut hukum privat maupun publik, sama-sama
memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang memperjanjikan jika sudah memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan untuk dinyatakan sah. Namun berbeda dengan perjanjian
yang berlaku dalam lapangan hukum privat yang hanya mengikat kedua belah pihak,
dalam lapangan hukum publik perjanjian mengikat bukan hanya kedua belah pihak
namun juga pihak ketiga.
Selain itu subjek perjanjian dalam lapangan hukum privat adalah individu atau
badan hukum, sementara subjek perjanjian dalam lapangan hukum publik adalah subjek
hukum internasional yaitu negara, organisasi internasional dan gerakan-gerakan
pembebasan.

Sumber :
http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Perjanjian.pdf

Hukum Perdata

Hukum perdata adalah segala hukum pokok yang mengatur kepentingan kepentingan perorangan. Hukum perdata di Indonesia diberlakukan bagi :
a.Untuk golongan bangsa Indonesia asli berlaku hukum adat yaitu hukum yang sejak dulu tetap berlaku dikalangan rakyat yang sebagian besar masih belum tertulis tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal dalam kehidupan masyarakat.

b.Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal dari tionghoa dan eropa berlaku KUHPer dan KUHD.
Tetapi pada akhirnya untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan berasal dari tionghoa dan eropa juga berlaku sebagian dari Burgerlijk Wetboek yaitu pada pokoknya hanya bagian yang mengenai hukum kekayaan harta benda.
Untuk mengerti keadaan hukum perdata di Indonesia perlulah kita mengetahui terlebih dahulu tentang riwayat politik pemerintah Hindia-Belanda. Pedoman politik bagi pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam pasal 131 "Indische Staatsregeling" yang dalam pokoknya sebagai berikut:
1.Hukum perdata dan dagang harus dikodifikasi.
2.Untuk golongan bangsa eropa dianut perundangan-perundangan yang berlaku di Belanda.
3.Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan timur asing jika dikehendaki maka dapatlah digunakan peraturan bangsa eropa.
4.Orang Indonesia asli dan golongan timur asing sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa eropa.
5.Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis maka hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum adat.
Perihal kemungkinan adanya penundukan diri pada hukum eropa telah diatur lebih lanjut pada Staatsblad 1917 no. 12. Peraturan ini mengenal empat macam penundukan yaitu :
a.Penundukan pada seluruh hukum eropa;
b.Penundukan pada sebagian hukum eropa;
c.Penundukan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu;
d.Penundukan secara diam-diam.

Hukum perdata menurut ilmu hukum sekarang ini lazim terbagi dalam empat bagian yaitu:
a.Hukum tentang seseorang;
b.Hukum tentang kekeluargaan;
c.Hukum kekayaan;
d.Hukum warisan.
Hukum perorangan memuat tentang peraturan-peraturan tentang diri manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakaan untuk bertindak sendiri melaksanakan haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan- kecakapan itu.
Hukum keluarga mengatur hal-hal tentang hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curetele.
Hukum kekayaan mengatur tentang perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang yang dimaksudkan ialah jumlah segala hak dan kewajiban orang itu dinilai dengan uang.
Hukum waris mengatur tentang benda atau kekayaan seorang jikalau meninggal.

Adapun sistematika yang dipakai oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu terbagi dalam empat macam bagian buku yaitu :
Buku I : Perihal orang;
Buku II : Perihal Benda;
Buku III : Perihal perikatan;
Buku IV : Perihal Pembuktian dan daluwarsa.

Dalam hukum, perkataan orang berarti pembawa hak atau subyek hukum didalam hukum. Meskipun setiap orang memiliki hak untuk melakukan hak sehingga boleh melakukan bertindak sendiri dalam melakukan hak-haknya, tetapi oleh Undang-Undang menyebutkan tentang adanya orang yang dinyatakan tidak cakap hukum atau kurang cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri. Dan yang dimaksudkan kurang cakap disini adalah orang-orang yang belum dewasa atau masih kurang umur dan orang-orang yang telah berada dibawah pengawasan yang selalu harus diwakili oleh wali,orang tua atau kuratornya. Menurut BW orang dikatakan masih dibawah umur apabila belum mencapai usia 21 tahun kecuali jika ia sudah kawin.
Didalam BW disamping manusia yang memiliki hak dan melakukan perbuatan hukum. Ada juga badan-badan yang memiliki hak yang sama dengan manusia yaitu yang disebut dengan badan hukum (recht persoon) artinya orang yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum misalnya: suatu perkumpulan dagang yang berbentuk perseroan terbatas.

Tiap orang menurut hukum harus mempunyai tempat tinggal atau yang disebut dengan domicili begitu pula dengan badan hukum yang harus mempunyai tempat tertentu.

Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
Syarat-syarat sah perkawinan :
1.Kedua pihak harus mencapai umur yang ditetapkan dalam UU yaitu : 18 bagi laki-laki dan 15 bagi perempuan;
2.Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak;
3.Untuk permpuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 hari dahulu sesudah putusan perkawinan pertama;
4.Tidak ada larangan dalam Undang-undang bagi kedua pihak;
5.Untuk pihak yang masih dibawah umur harus ada izin dari orang tua atau wali.

Sebelum perkawinan dilangsungkan harus dilakukan terlebih dahulu :
a.Pemberitahuan tentang kehendak akan kawin kepada pegawai pencatatan sipil;
b.Pengumuman oleh pegawai tersebut

Kepada beberapa orang oleh Undang-undang diberikan hak untuk mencegah atau menahan dilangsungkannya pernikahan yaitu :
a.Kepada suami istri serta anak-anak dari pihak yang akan kawin;
b.Kepada orang tua kedua belah pihak;
c.Kepada jaksa.

Adapun surat yang harus diserahkan kepada pegawai pencatatan sipil agar ia dapat melangsungkan pernikihan ialah :
1.Surat kelahiran masing-masing pihak;
2.Surat pernyataan dari pegawai pencatatan sipil tentang adanya izin orang tua;
3.Proses verbal dari mana ternyata perantaraan hakim dalam hal perantaraan ini dibutuhkan;
4.Surat kematian suami atau istri atau putusan perceraian perkawinan lama;
5.Surat keterangan dari pegawai pencatatan sipil yang menyatakan telah dilangsungkan pengumuman dengan tiada perlawanan dari suatu pihak;
6.Dispensasi dari presiden dalam hal ada suatu larangan untuk kawin.

Pada dasarnya suatu perkawinan harus dibuktikan dengan surat perkawinan. Perkawinan hapus jika salah satu pihak meninggal selanjutnya ia hapus juga. Sehingga perkawinan dapat dihapuskan dengan perceraian.

Perceraian adalah : penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.

Alasan perceraian ada empat macam :
a.Zina (overspel);
b.Ditnggalkan dengan sengaja;
c.Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan;
d.Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa.

Undang-undang perkawinan menambahkan dua alasan :
a.Salah satu pihak mendapat cacat badan/penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
b.Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Tuntutan untuk mendapat perceraian diajukan kepada hakim secara gugat biasa dalam perkara perdata.tetapi harus didahului dengan meminta izin kepada ketua pengadilan negeri untuk menggugat.
Anak sah adalah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Pembuktian keturunan harus dilakukan dengan surat kelahiran yang diberikan oleh pegawai pencatatan sipil.
Seorang anak yang lahir diluar perkawinan dinamakan naturiljk kind. ia dapat diakui atau tidak diakui oleh orangtuanya.
Seorang anak yang sah sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau kawin berada dibawah kekuasaan orang tuanya selama kedua orang tua terikat dalam hubungan perkawinan.
Kekuasaan orang tua terutama berisi kewajiban untuk mendidik dan memelihara anaknya. Pemeliharaan meliputi pemberian nafkah,pakaian dan perumahan.
Perwalian adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak terseburt diatur oleh undang-undang.
Anak yang berda dibawah perwalian adalah :
a.Anak sah kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaanya sebagai orang tua;
b.Anak sah orang tuanya telah bercerai;
c.Anak yang lahir di luar perkawinan.

Pada umumnya dalam tiap perwalian hanya ada seorang wali saja kecuali apabila seorang wali ibu kawin lagi.
Seorang yang oleh hakim diangkat menjadi wali harus menerima pengangkatan itu kecuali jika ia seorang istri yang kawin atau jika ia mempunyai alasan-alasan menurut undang-undang untuk minta dibebaskan dari pengangkatan itu.
Ada golongan orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali yaitu:
a.Orang yang sakit ingatan;
b.Orang yang belum dewasa;
c.Orang yang dibawah curetele;
d.Orang yang telah dicabut kekuasaanya sebagai orang tua;
e.Pengangkatan sebagai wali itu untuk anak yang menyebabkan pencabutan tersebut;
f.Anggota balai harta peninggalan.
Seorang wali diwajibkan mengurus kekayaan anak yang berada dibawah pengawasanya dengan sebaik-baiknya serta bertanggung jawab tentang kerugian-kerugian yang ditimbulkan karena pengurusan buruk.
Orang yang sudah dewasa yang menderita sakit ingatan menurut undang-undang harus ditaruh dibawah pengampuan.

Benda (zaak) adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang. Benda disini berarti obyek sebagai lawan dari subyek atau orang dalam hukum.
Undang-undang membagi benda dalam beberapa macam :
a.benda yang dapat diganti dan yang tak dapat diganti;
b.benda yang dapat diperdagangkan dan benda yang tidak dapat diperdagangkan;
c.benda yang dapat di bagi dan yang tidak dapat di bagi;
d.benda yang bergerak dan yang tidak bergerak.
Pembagian diatas yang paling penting adalah pembagian yang terakhir sebab pembagian ini mempunyai akibat yang sangat penting dalam hukum. Suatu benda tergolong sebagai benda yang tidak bergerak pertama karena sifatnya kedua karena tujuan pemakaiannya dan ketiga karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang.
Suatu benda dihitung termasuk golongan benda yang bergerak karena sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda bergerak karena sifatnya ialah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan.
Suatu hak kebendaan ialah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang.
Dalam hukum barat hak terbagi atas dua macam yakni :
1.Bezit yaitu suatu keadaan lahir dimana seseorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaan sendiri yang oleh hukum diperlindungi dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa.
Untuk bezit diharuskan adanya dua unsur yaitu kekuasaan atas suatu bendadan kemauan untuk memiliki benda tersebut.
2.Eigendom adalah hak yang paling sempurna atas benda. Seseorang yang memiliki hak atas suatu benda memiliki wewenag untuk berbuat apa saja terhadap benda tersebut.
Menurut pasal 584 BW eigendom hanyalah dapat diperoleh melalui :
a.Pengambilan;
b.Natreking yaitu jika suatu benda bertambah besar atau berlipat karena perbuatan alam;
c.Lewat waktu;
d.Pewarisan;
e.penyerhan berdasarkan suatu titel pemindahan hak yanh berasal dari seorang yang berhak memindahkan eigendom.

Hak- hak kebendaan diatas benda orang lain yaitu suatu beban yang diletakkan diatas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan lain yang berbatasan. Ada beberapa hak yang berkaitan dengan hak kebendaan ini yakni :
a.Hak opstal adalah suatu hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman diatas tanahnya orang lain.
b.Hak erfpacht adalah suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun.
c.Vruchtgebruik adalah suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan dari suatu benda orang lain seolah benda itu kepunyaan sendiri dengan kewajiban menjaga supaya benda tersebut tetap dalam keadaanya semula.
d.Pandrecht adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak kepunyaan orang lain yang semata-mata diperjanjikan dengan menyerahkan bezit atas benda tersebut dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari pendapatan penjualan benda itulebih dahulu dari penagih-penagih lainnya.
e.Hypotheek adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda tak bergerak bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari benda itu.

Menurut UU ada dua cara untuk mendapatkan warisan yakni :
1.Sebagai ahli waris;
2.Ditunjuk dalam surat wasiat.
Wasiat adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal. Suatu wasiat dapat diberikan kepada seseorang yang bukan ahli waris dan adapun benda yang dapat diberikan kepadanya yaitu :
a.satu atau beberapa benda tertentu;
b.seluruh benda dari satu macam jenis;
c.hak atas sebagian seluruh warisan;
d.hak untuk mengambil satu atau beberpa benda tertentu.

Menurut bentuknya ada tiga macam wasiat yakni :
1.openbaar testament yaitu wasiat yang dibuat oleh notaries;
2.olographis testament yaitu wasiat yang ditulis langsung oleh pewasiat;
3.testament tertutup atau rahasia yaitu dibuat sendiri oleh pewasiat tapi tidak harus dia sendiri yang menulisnya.

Fidei commis adalah suatu pemberian warisan kepada seorang ahli waris dengan ketentuan ia wajib menyimpan warisan itu dan setelah lewat suatu waktu atau apabila si waris itu sendiri telah meninggal, warisan itu harus diserahkan kepada seorang lain yang sudah ditetapkan dalam testament (wasiat).

Legitieme portie adalah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.

Perikatan mempunyai arti yang lebih luas dari perjanjian. Adapun yang dimaksudkan perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya sedangkan orang yang lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu.

Adapun barang yang dapat dituntut menurut undang-undang adalah :
1.menyerhkan suatu barang;
2.melakukan suatu perbuatan;
3.tidak melakukan suatu perbuatan.

Macam perikatan :
1.Perikatan berisyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi;
2.Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu;
Perbedaan antara ketetapan bersyarat dengan ketetapan waktu adalah :
a.berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana
b.suatu hal yang pasti akan datang meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya
3.Perikatan yang membolehkan memilih. Ini adalah suatu perikatan dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan;
4. Perikatan tanggung menanggung. Ini adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan atau sebaliknya;
5.Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi;
6.Perikatan dengan penetapan hukuman;
7.Perikatan yang lahir dari undang-undang. Perikatan ini terbagi lagi menjadi dua bagian:
a.yang lahir dari undang-undang saja;
b.yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seseorang.
Perikatan yang lahir dari undang-undang adalah perikatan yang timbul oleh hubungan kekeluargaan. Sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seseorang diperbolehkan jika seseorang melakukan suatu pembayaran yang tidak diwajibkan, perbuatan yang demikian menimbulkan suatu perikatan yaitu memberikan hak kepada orang yang telah membayar itu untuk menuntut kembali apa yang telah dibayarkan dan meletakkan kewajiban dipihak lain untuk mengemabalikan pembayaran-pembayaran itu;
8.Perikatan yang lahir dari perjanjian.
Untuk menjadi suatu perjanjian yang sah haruslah memenuhi syarat berikut :
a.perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri;
b.kecakapan untuk membuatsuatu perjanjian;
c.suatu hal tertentu yang diperjanjikan;
d.suatu sebab yang halal.

Perikatan bisa berakhir apabila :
1.karena pembayaran;
2.penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarakan itu disuatu tempat;
3.pembaharuan hutang;
4.kompensasi atau perhitungan timbal balik;
5.pencampuran hutang;
6.pembebebasan hutang;
7.hapusnya barang yan dimaksudkan dalam perjanjian;
8.pembatalan perjanjian;
9.akibat berlakunya suatu syarat pembatalan;
10.lewat waktu.

Adapun beberapa contoh dari suatu perjanjian yakni :
1.Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas suatu barang sedang pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya;
2.Perjanjian sewa menyewa ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untukdipkai selama jangka waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu tertentu;
Pihak penyewa memikul dua hal pokok yakni :
a.membayar uang sewa pada waktunya.
b.memelihara barang yang disewa
3.Pemberian atau hibah adalah suatu perjanjian dimana pihak yang menyanggupi dengan cuma- cuma dengan secara mutlak memberikan suatu benda pada pihak lainnya;
4.Persekutuan yaitu suatu perjanjian dimana beberapa orang bermufakat untuk bekerja sama dalam lapangan ekonomi dengan tujuan membagi keuntungan yang akan diperoleh;
5.Penyuruhan yakni perjanjian dimana pihak yang satu memberikan perintah kepada pihak yang lain untuk melakukan perbuatan hokum;
6.perjanjian pinjam;
Perjanjian ini terbagi atas dua macam :
a.perjanjian pinjam barang yang dapat diganti, contoh: mobil atau sepeda.
b.Perjanjian pinjam barang yang dapat diganti, contoh: uang, beras
7.Penanggungan hutang adalah suatu perjanjian dimana suatu pihak menyanggupi pada pihak lainnya bahwa iamenanggung pembayaran suatu hutang apabila siberhutang tidakmenepati janjinya;
8.Perjanjian perdamaian merupakan suatu perjanjian dimana dua pihak membuat suatu perdamaian untuk menyingkiri atau mengakhiri suatu perkara dalam perjanjian mana masing- masing melepaskan sementara hak-hak atas tuntutannya;
9.Perjanjian kerja.
Pembuktian merupakan hukum acara yang pada dasarnya hanya mengatur tentang hal- hal yang termasuk dalam hukum materil. Tetapi memang ada pendapat yang menyebut bahwa hukum acara dapat dibagi dalam hukum formil dan materil.
Menurut UU ada lima macam alat pembuktian yakni:
a.Surat-Surat;
b.Kesaksian;
c.Persangkaan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dalam hukum pembuktian ada dua macam hukum persangkaan yakni: persangkaan yang ditetapkan oleh UU sendiri, dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim;
d.Pengakuan;
e.Sumpah.
Menurut UU ada dua macam sumpah : sumpah yang menentukan dan sumpah tambahan.
"Sumpah yang menentukan" adalah sumpah yang diperintahkan oleh satu pihak lawannya dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa hakim. "Sumpah tambahan" adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang berperkara.


Referensi :

Prof.Subekti,SH, "Pokok-pokok Hukum Perdata" PT. Intermasa,Jakarta,2003

Surat Berharga

A. Pengertian

1. HMN. Poerwosutjipto : Surat berharga adalah surat bukti tuntutan utang, pembawa hak dan mudah dijualbelikan.

2. A.Kadir Muhammad : Surat berharga adalah suatu surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi yang berupa pembayaran sejumlah uang. Tetapi pembayaran itu tidak dilakukan dengan menggunakan mata uang, melainkan dengan menggunakan alat bayar lain. Alat bayar itu berupa surat yang di dalamnya mengandung suatu perintah kepada pihak ketiga atau pernyataan sanggup untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang surat tersebut. Dengan perkataan lain surat berharga adalah surat berisi perintah kepada pihak ketiga untuk menyerahkan suatu hak yang tercantum di dalamnya kepada orang yang berhak atas surat berharga tersebut.

3. CST. Kansil : Surat berharga atau surat perniagaan adalah surat yang dapat diperdagangkan dalam dunia perniagaan untuk memudahkan pemakaian uang yang akan diterima dari pihak ketiga dan untuk mempermudah penagihan piutang dari pihak ketiga.

4. H. Burhanuddin S.B : Surat berharga adalah suatu alat bukti dari suatu tagihan atas orang yang menandatangani surat itu, tagihan mana dipindahtangankan dengan penyerahan surat itu dan akan dilunasi sesudah surat itu diunjukkan.

5. Pasal 1 angka 10 UU No.10 thn 1998 : Surat berharga adalah surat pengakuan hutang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit atau setiap derivatifnya, atau kepentingan dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang.

B. Pengaturan

1. Dalam KUH Dagang : tentang wesel, cek, surat sanggup dan promes.

2. Di luar KUH dagang atau dalam ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) antara lain bilyet giro, sertifikat deposito Sertifikat Bank Indonesia (SBI), surat berharga komersil, dan lain-lain.

C. Penggunaan Surat Berharga dalam praktek

1. Untuk aspek lalu lintas bisnis, penggunaan surat berharga lebih praktis aman dan lancar sistem pembayaran.

2. Untuk aspek usaha perbankan yaitu kegiataan pembelian, penjualan, penyimpanan (custodian) memberikan jaminan surat berharga dan warkat-warkat perbankan, merupakan produk bisnis perbankan dewasa ini, hal ini berkaitan dengan usaha menghimpun dana, baik untuk kepentingan masyarakat maupun untuk kepentingan pembangunan.

D. Perbedaan Surat Berharga dan Surat Yang

Mempunyai Harga

Surat berharga diterbitkan untuk memenuhi prestasi, maka surat yang mempunyai harga diterbitkan hanya untuk menjadi bukti bahwa pemiliknya berhak atasa sesuatu, dengan demikian surat yang mempunyai harga adalah surat yang diterbitkan bukanlah sebagai pemenuhan prestasi dan tidak diperjualbelikan melainkan sebagai alat bukti diri bagi pemegangnya sebagai pihak yang berhak atas apa yang disebutkan atau untuk menikmati hak yang disebutkan dalam surat itu.

SURAT BERHARGA
SURAT YANG MEMPUNYAI HARGA

Haknya bersifat objektif
Dapat diperdagangkan
Menganut legitimasi formal
Kreditur berganti-ganti

Misalnya : wesel, cek, dll
Haknya bersifat subjektif

Tidak dapat diperdagangkan
Legitimasi material
Krediturnya hanya satu orang (yang nama nya tercantum di dalam surat

Misalnya : SIM, KTP, dll

E. Penggolongan Surat Berharga

1. Surat-surat yang mempunyai sifat kebendaan : yang di dalamnya terkandung hak atas pemilikan barang-barang tertentu yang tercantum dalam surat berharga tersebut. Adapun prikatan dasar surat ini adalah penyerahan barang-barang tersebut. Yang termasuk kedalam golongan surat ini adalah :
a. Konosemen (bill of lading) adalah dokumen pengangkutan barang di laut yang diserahkan oleh pengangkut kepada pengirim
b. Ceel adalah dokumen penitipan barang di gudang pelabuhan (veem) sebelum diangkut ke atas kapal

2. Surat tanda keanggotaan suatu persekutuan adalah surat berharga yang berisi hak-hak keanggotaan suatu persekutuan. Adapun perikatan dasarnya adalah hak-hak tertentu yang diberikan oleh persekutuan kepada pemegangnya, misalnya hak untuk mendapatkan deviden, hak suara dalam rapat dan sebagainya. Yang termasuk ke dalam golongan surat berharga ini adalah :
a. Surat saham dalam Perseroan Terbatas
b. Surat saham dalam CV
c. Surat keanggotaan Koperasi

3. Surat-surat tagihan utang adalah surat berharga yang bersisi hak untuk menagih sejumlah uang yang tercantum dalam surat berharga tersebut. Adapun perikatan dasarnya adalah untuk pemenuhan suatu prestasi. Yang termasuk dalam surat berharga ini adalah wesel, cek, aksep/ prosmes dan bilyat giro

F. Klausula Dalam Surat Berharga

1. Atas tunjuk (aan toonder, to bearer)
2. Atas pengganti (aan order, to order)
3. Atas nama (aan naam)